Selasa, 05 Februari 2008

Perjalan Haji tuk lebih baik

Perjalanan Haji tuk lebih baik


By. Rudi-Ktw
Sobatku semua berikut ini adalah sajian (duuuh makanan klee..) yang akan sedikit memaparkan tentang perjalanan haji saya di musim haji akhir tahun 2007 yang berakhir pada medio Januari 2008.

Kenapa saya tulis hal ini? Karena perjalan menunaikan ibadah Haji ini merupakan suatu anugerah yang tak terhingga buat saya.

Saya akan bagi kedalam beberapa bagian cerita, nah diawal tentang latar belakang sebelum berangkat haji.

Pergi menunaikan ibadah haji ke tanah suci adalah suatu impian bagi hampir semua Muslim yang beriman kepada Allah SWT. Tentu bagi saya dan sobat yang lain pun demikian. Namun sebagian besar dari kita masih terkendala dengan biaya untuk melaksanakannya yang cukup mahal.

Adalah suatu kegembiraan tersendiri bagi saya karena diperusahaan tempat saya bekerja mengadakan program pembiayaan ONH bagi karyawannya yang telah bekerja selama minimal 10 tahun melalui test seleksi calon haji yang diadakan tiap tahun.

Maka ketika test seleksi Haji tahun 2005 dikantor, segera saya daftarkan diri untuk mengikuti seleksi tersebut. Dan hasilnya ternyata saya lulus seleksi tahap awal dari dua tahap test yang diselenggarakan. Cukup surprise juga bisa lolos seleksi ditahap ini (test tertulis tentang pemahaman Aqidah, ibadah, Siroh dan tentang Al Qur’an) mengingat pesertanya itu teman-teman yang sudah lebih senior dan tampilan mereka ketika test rata-rata sangat meyakinkan sebagai orang-orang yang cukup mumpuni dalam ilmu Agama.

Dengan semangat saya persiapkan diri untuk mengikuti test tahap dua dengan materi test baca Al Qur’an dan seputar manasik haji. Test kedua ini dalam bentuk test lisan dimana peserta test duduk di tengah-tengah tim juri yang ada di depan dan belakang peserta.
Disini saya sangat tegang bahkan hanya mampu menjawab 2 pertanyaan saja dari sekitar lima pertanyaan yang diajukan. Akhirnya saya gagal ditest Seleksi haji tahun 2005 ini.

Kecewa rasa hati ini kuganti dengan interospeksi diri, mencari apa yang salah dengan diri saya saat test haji tersebut. Ternyata setelah saya interospeksi lagi saya telah melakukan kesalahan yang fatal dalam mengikuti test tersebut niat saya hanya ingin ikut test seleksi haji bukan niat untuk menunaikan ibadah haji.
Akhirnya saya perbaiki niat saya ikut test karena berniat hendak menunaikan ibadah haji.
Alhamdulillah test tahun berikutnya di tahun 2006 saya berhasil lulus dan mendapatkan ONH dari perusahaan tempat saya bekerja.Kisah berikutnya akan saya sambung kemudian karena sekarang saya dah mo pulang nich… Wassallam.

Cambuk Kecil kehidupan

Cambuk kecil di hari Selasa..

Oleh: Rudi - KTW

Untuk kesekian kalinya aku merasakan getirnya aroma ketidakadilan.
Lho mengapa? Tiap kali terjadi suatu masalah yang tereskalasi hingga tingkat tinggi, selalu saja dilevel staff yang harus bertanggungjawab. Tidak peduli ia bersalah atau tidak yang penting si staff tadi harus mau mengaku salah. Padahal ia bekerja atas nama dan dalam suatu struktur organisasi, tapi ketika ada suatu masalah menyangkut staff tadi maka seketika itu juga struktur organisasi tadi menghilang….
Struktur organisasi yang selama ini selalu menggembar-gemborkan Team work, Team work dan team work tak lagi terlihat. Ah, sungguh sedih nian hati ini jika kita berada di level terendah dari suatu unit kerja. Kita harus selalu terlihat semangat, kerja keras tanpa kenal lelah apalagi sakit…. Mungkin Cuma kematian saja …. Yang dapat diterima oleh struktur organisasi itu sebgai suatu reason untuk istirahat tidak bekerja.


Yach itulah sekelumit kisah dunia kerja dimasa ini awal 2008 dan awal 1429 H.
Yang dapat dilakukan si Staff tadi ialah harus membuat report tentang kejadian atau masalah tersebut, sehingga sang Struktur Organisasi tadi dapat tenang hatinya karena telah mendapatkan orang yang siap untuk di “kambing hitamkan”.

Betapa rasa keadilan bagi people margin ( eh maksudnya teh orang pinggiran; red)
Terasa begitu mahal dan amat sulit tuk disentuh apalagi diraih…

Nah, itu baru se-noktah kisah dari staff yang bekerja di sebuah instansi swasta terkemuka, bagaimana dengan saudara kita yang lainnya…? Mereka hidup dibelantara eh di bagian pinggiran lainnya … bagimana dengan tukang Es Doger ketika musim hujan seperti ini … adakah mereka mengeluh…?? Coba juga renungkan nasib tukang ojek sepeda yang biasa mangkal di pinggir jalan di Jl. Yos Sudarso ketika musim banjir seperti sekarang ini
Boleh dibilang pelanggan mereka hampir tidak kelihatan menemui mereka dimusim ini.
Bagaimana dengan nasib para gelandangan yang tinggal di kolong jembatan, kemana mereka akan berteduh jika kolong-kolong jembatan yang mereka huni sudah terendam banjir. Bahkan masih lebih banyak lagi keperihan dan kepiluan yang dirasakan banyak orang dimuka bumi ini.
Saya jadi teringat akan ayat yang berbunyi “ Fa bi ayyi alaaai Robbikumaa tukadzibaan…” yang artinya “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Maka hati ini menjadi kembali tenang, tenteram dan damai… karena sesungguhnya kita telah menerima amat sangat banyak sekali nikmat-Nya sejak kita dalam kandungan hingga saat ini…
Berapa volume Oksigen yang sudah kita hirup sejak pertama kali kita hidup hingga kini..?
Berapa biaya yang harus kita bayar untuk jasa pompa jantung yang dengan setia dan secara otomatis terus memompa darah ke seluruh tubuh kita , jika jasa Jantung kita rupiahkan …

Jadi marilah kita jadikan luka dan pilu dihati kita dalam menempuh kehidupan ini kita jadikan cambuk kecil agar kita tetap sadar, mawas diri dan tetap ingat bahwa hidup dan mati kita semuanya hanya ditujukan semata Lillahi Robbil ‘Alamiin.

Wallahu A’lam…

Senin, 04 Februari 2008

Sekilas Info dari Jurnal Halal

Pembungkus Yang Bisa Dimakan

Fatwa & Info Halal Oleh : Redaksi Jurnal Halal 23 Sep 2006 - 7:04 pm

Taiching: Bungkus makanan memegang peranan yang sangat penting, bahkan kadang-kadang lebih penting dari isinya. Ia juga mampu meningkatkan nilai tambah makanan.

Teknologi kemasan berkembang sangat pesat seiring dengan perkembangan teknologi pengolahan pangan. Pada zaman dahulu kemasan lebih didominasi oleh bahan-bahan alami, seperti daun, bambu dan kayu. Kemudian dengan ditemukannya bahan kemasan sintetis, kini kita mengenal plastik, kaca, kaleng dan aluminium foil sebagai pembungkus makanan dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Rupanya bahan pembungkus sintetis tersebut kini mulai digugat konsumen, khususnya yang terkait dengan masalah lingkungan dan efek samping yang ditimbulkannya. Kemasan gelas dan kaleng digugat karena sulit didegradasi alam, sehingga dianggap mengancam kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup. Sedangkan kemasan plastik dan gabus (styrofoam) dianggap menghasilkan residu berbahaya yang bisa menimbulkan gangguan kesehatan bagi penggunanya.

Kemasan plastik yang dipakai untuk bahan makanan yang dipanaskan akan menyisakan monomer hasil degradasi dari polimer yang merupakan bahan penyusun plastik. Nah, monomer ini diduga kuat bisa menimbulkan gangguan kesehatan bagi pemakainya dan bisa mengakibatkan penyakit kanker.

Gugatan terhadap bahan pembungkus sintetis tersebut mendorong para pakar di bidang teknologi kemasan untuk kembali melirik bahan alami. Namun sepenuhnya kembali kepada bahan alami juga menimbulkan banyak masalah ketika harus berhadapan dengan ketatnya sistem produksi. Tidak terbayangkan, bagaimana susahnya membungkusi makanan dengan daun pisang jika diproduksi secara masal dalam industri makanan.

Selain itu pembungkus alami juga memiliki sifat-sifat yang kurang menguntungkan, seperti masalah standarisasi, kekuatan dan daya tahan. Oleh karena itu dengan tetap berorientasi pada industrialisasi, sekaligus juga ramah lingkungan dan aman bagi konsumen, maka dikembangkanlah jenis kemasan yang bisa dimakan (edible), khususnya untuk kemasan yang bersentuhan langsung dengan bahan makanannya.

Salah satu pembungkus edible yang cukup populer adalah bahan pembungkus sosis. Dahulu orang mengenal sosis sebagai bahan makanan yang dibungkus dengan usus kambing atau babi. Tetapi karena tidak praktis dan banyak kesulitan dalam teknis pembungkusannya, maka kini dikembangkan pembungkus dari sejenis plastik (selofan). Belakangan pembungkus sosis ini juga diarahkan kepada jenis pembungkus yang bisa dimakan, lebih akrab dengan lingkungan, mudah, praktis dan tidak berbahaya bagi konsumen.

Pilihan jatuh pada bahan colagen atau kolagen yang berasal dari protein hewani. Penggunaan kolagen dalam pembuatan kemasan yang bisa dimakan itu sangat menguntungkan, aman, mudah dan praktis karena bisa langsung dimakan. Sehingga konsumen tidak susah-susah lagi mengupas. Harganyapun relatif murah jika dibandingkan dengan pembungkus alami yang berasal dari usus.

Masalahnya adalah ketika dikaitkan dengan kehalalan. Status kehalalan pembungkus makanan yang bisa dimakan ini sangat tergantung dari sumber dan asal-usul bahannya. Bahan dasar kemasan ini adalah kolagen, sejenis protein hewani yang berasal dari kulit atau jaringan ikat hewan. Pertanyaannya adalah, hewan apakah yang digunakan sebagai sumber kolagen tersebut?

Secara statistik kolagen yang digunakan oleh industri-industri kemasan tersebut kebanyakan berasal dari sapi, babi atau ikan. Sapi paling banyak digunakan, terutama di negara-negara yang memang memiliki potensi peternakan besar seperti Australia, Eropa dan Amerika. Namun demikian dilaporkan juga adanya penggunaan babi sebagai sumber kolagen di berbagai tempat. Sedangkan ikan masih sangat sedikit, karena jaringan ikat pada hewan ini memang tidak terlalu banyak. Paling hanya pada ikan hiu atau ikan paus yang keberadaannya sudah mulai dilindungi.

Ketika berbicara tentang kolagen yang bersumber dari sapi, maka aspek kehalalan harus bisa menjelaskan mengenai cara penyembelihan hewan tersebut. Ketika sapi tidak disembelih sesuai aturan Islam, maka kulit dan produk turunannya juga ikut haram. Pemotongan sapi halal di Eropa, Amerika dan Australia sampai saat ini masih sangat sedikit, biasanya khusus untuk keperluan ekspor daging ke negara-negara muslim. Sedangkan untuk keperluan industri, seperti kolagen, masih sangat jarang mempertimbangkan aspek kehalalan.

Ada memang beberapa industri kemasan yang menggunakan sumber sapi halal. Tetapi kebanyakan industri ini masih mempergunakan semua jenis sapi, baik yang halal maupun yang tidak. Apalagi jika ada juga yang menggunakan sumber kolagen dari babi, masalahnya akan lebih gawat lagi.
Dari informasi-informasi tersebut, penggunaan kemasan yang bisa dimakan (edible) memang sebuah terobosan teknologi yang sangat menguntungkan bagi produsen dan konsumen. Namun perlu diingat, aspek kehalalan adalah harga mati bagi konsumen Muslim. Oleh karena itu tidak ada salahnya untuk tetap waspada terhadap bahan makanan yang menggunakan kemasan tersebut. Nur Wahid, Auditor LPPOM MUI dan Ketua Redaksi Jurnal Halal.