Senin, 04 Februari 2008

Sekilas Info dari Jurnal Halal

Pembungkus Yang Bisa Dimakan

Fatwa & Info Halal Oleh : Redaksi Jurnal Halal 23 Sep 2006 - 7:04 pm

Taiching: Bungkus makanan memegang peranan yang sangat penting, bahkan kadang-kadang lebih penting dari isinya. Ia juga mampu meningkatkan nilai tambah makanan.

Teknologi kemasan berkembang sangat pesat seiring dengan perkembangan teknologi pengolahan pangan. Pada zaman dahulu kemasan lebih didominasi oleh bahan-bahan alami, seperti daun, bambu dan kayu. Kemudian dengan ditemukannya bahan kemasan sintetis, kini kita mengenal plastik, kaca, kaleng dan aluminium foil sebagai pembungkus makanan dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Rupanya bahan pembungkus sintetis tersebut kini mulai digugat konsumen, khususnya yang terkait dengan masalah lingkungan dan efek samping yang ditimbulkannya. Kemasan gelas dan kaleng digugat karena sulit didegradasi alam, sehingga dianggap mengancam kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup. Sedangkan kemasan plastik dan gabus (styrofoam) dianggap menghasilkan residu berbahaya yang bisa menimbulkan gangguan kesehatan bagi penggunanya.

Kemasan plastik yang dipakai untuk bahan makanan yang dipanaskan akan menyisakan monomer hasil degradasi dari polimer yang merupakan bahan penyusun plastik. Nah, monomer ini diduga kuat bisa menimbulkan gangguan kesehatan bagi pemakainya dan bisa mengakibatkan penyakit kanker.

Gugatan terhadap bahan pembungkus sintetis tersebut mendorong para pakar di bidang teknologi kemasan untuk kembali melirik bahan alami. Namun sepenuhnya kembali kepada bahan alami juga menimbulkan banyak masalah ketika harus berhadapan dengan ketatnya sistem produksi. Tidak terbayangkan, bagaimana susahnya membungkusi makanan dengan daun pisang jika diproduksi secara masal dalam industri makanan.

Selain itu pembungkus alami juga memiliki sifat-sifat yang kurang menguntungkan, seperti masalah standarisasi, kekuatan dan daya tahan. Oleh karena itu dengan tetap berorientasi pada industrialisasi, sekaligus juga ramah lingkungan dan aman bagi konsumen, maka dikembangkanlah jenis kemasan yang bisa dimakan (edible), khususnya untuk kemasan yang bersentuhan langsung dengan bahan makanannya.

Salah satu pembungkus edible yang cukup populer adalah bahan pembungkus sosis. Dahulu orang mengenal sosis sebagai bahan makanan yang dibungkus dengan usus kambing atau babi. Tetapi karena tidak praktis dan banyak kesulitan dalam teknis pembungkusannya, maka kini dikembangkan pembungkus dari sejenis plastik (selofan). Belakangan pembungkus sosis ini juga diarahkan kepada jenis pembungkus yang bisa dimakan, lebih akrab dengan lingkungan, mudah, praktis dan tidak berbahaya bagi konsumen.

Pilihan jatuh pada bahan colagen atau kolagen yang berasal dari protein hewani. Penggunaan kolagen dalam pembuatan kemasan yang bisa dimakan itu sangat menguntungkan, aman, mudah dan praktis karena bisa langsung dimakan. Sehingga konsumen tidak susah-susah lagi mengupas. Harganyapun relatif murah jika dibandingkan dengan pembungkus alami yang berasal dari usus.

Masalahnya adalah ketika dikaitkan dengan kehalalan. Status kehalalan pembungkus makanan yang bisa dimakan ini sangat tergantung dari sumber dan asal-usul bahannya. Bahan dasar kemasan ini adalah kolagen, sejenis protein hewani yang berasal dari kulit atau jaringan ikat hewan. Pertanyaannya adalah, hewan apakah yang digunakan sebagai sumber kolagen tersebut?

Secara statistik kolagen yang digunakan oleh industri-industri kemasan tersebut kebanyakan berasal dari sapi, babi atau ikan. Sapi paling banyak digunakan, terutama di negara-negara yang memang memiliki potensi peternakan besar seperti Australia, Eropa dan Amerika. Namun demikian dilaporkan juga adanya penggunaan babi sebagai sumber kolagen di berbagai tempat. Sedangkan ikan masih sangat sedikit, karena jaringan ikat pada hewan ini memang tidak terlalu banyak. Paling hanya pada ikan hiu atau ikan paus yang keberadaannya sudah mulai dilindungi.

Ketika berbicara tentang kolagen yang bersumber dari sapi, maka aspek kehalalan harus bisa menjelaskan mengenai cara penyembelihan hewan tersebut. Ketika sapi tidak disembelih sesuai aturan Islam, maka kulit dan produk turunannya juga ikut haram. Pemotongan sapi halal di Eropa, Amerika dan Australia sampai saat ini masih sangat sedikit, biasanya khusus untuk keperluan ekspor daging ke negara-negara muslim. Sedangkan untuk keperluan industri, seperti kolagen, masih sangat jarang mempertimbangkan aspek kehalalan.

Ada memang beberapa industri kemasan yang menggunakan sumber sapi halal. Tetapi kebanyakan industri ini masih mempergunakan semua jenis sapi, baik yang halal maupun yang tidak. Apalagi jika ada juga yang menggunakan sumber kolagen dari babi, masalahnya akan lebih gawat lagi.
Dari informasi-informasi tersebut, penggunaan kemasan yang bisa dimakan (edible) memang sebuah terobosan teknologi yang sangat menguntungkan bagi produsen dan konsumen. Namun perlu diingat, aspek kehalalan adalah harga mati bagi konsumen Muslim. Oleh karena itu tidak ada salahnya untuk tetap waspada terhadap bahan makanan yang menggunakan kemasan tersebut. Nur Wahid, Auditor LPPOM MUI dan Ketua Redaksi Jurnal Halal.

Tidak ada komentar: